Beberapa Faktor Flight Safety pada Pesawat Terbang
Halo Teman Safety pada Sabtu 9 Januari 2021 jam 14.40 WIB Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dengan Rute Penerbangan Jakarta - Pontianak telah dilaporkan Hilang, pesawat yang berisi penumpang sebanyak 60 orang jatuh disekitar kepulauan seribu lebih dekat Pulau Laki tentu ini menjadi berita duka yang mendalam yang membuka cerita pada awal tahun 2021, Kami Segenap Keluarga PT SAFETY FIRST INDONESIA Turut Berduka Cita atas Kecelakaan yang dialami maskapai Sriwijaya Air SJ 182 Semoga crew dan seluruh penumpang diterima amalan yang terbaik di sisiNYA. Amin dan bagi keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan atas musibah yang dialami anggota keluarganya.
Teman Safety mari kita menjelaskan tentang Beberapa Faktor "Flight Safety" pada sebuah pesawat terbang agar kedepannya dapat meminimalisir kecelakaan pada pesawat karena transportasi Penerbangan adalah transportasi paling effisien dan aman didunia.
Berita kecelakaan pesawat terbang sontak membuat kita bertanya-tanya mengenai keamanan dan ancaman terorisme. Namun sampai fakta-fakta terkait terungkap, tidakah bijak jika kita berspekulasi mengenai penyebab suatu kecelakaan. Tapi yang jelas, ada beberapa penyebab kecelakaan pada pesawat terbang yang umum terjadi.
- Kesalahan pilot
Karena pesawat terbang kini semakin dapat diandalkan, proporsi kecelakaan yang timbul akibat kesalahan pilot kian meningkat dan kini mencapai 50%. Pesawat terbang terdiri dari mesin-mesin kompleks yang memerlukan banyak pemeliharaan. Karena pilot secara aktif terlibat dengan pesawat pada tiap tahap penerbangan, ada banyak kesempatan untuk terjadinya kesalahan, dari kegagalan untuk memprogram dengan benar flight-management computer (FMC) hingga salah hitung bahan bakar yang dibutuhkan untuk mengangkat pesawat. Meskipun kesalahan demikian patut disesali, penting untuk mengingat bahwa pilot berperan sebagai garis pertahanan terakhir saat terjadi suatu kesalahan besar.
Pada Januari 2009, sebuah Airbus A320 dihantam sekawanan angsa di atas Kota New York. Dengan mesin yang tidak menyala, Kapten Chesley Sullenberger harus dengan cepat mempertimbangkan berbagai hal dan membuat suatu keputusan. Berdasarkan jam terbang yang panjang serta pengetahuan atas kemampuan penanganan pesawat, dia memilih mendaratkan pesawat di Sungai Hudson. Sebanyak 150 penumpang pesawat tersebut tidak diselamatkan oleh komputer atau sistem otomatis lain. Mereka justru diselamatkan oleh dua pilot, komponen yang disebut-sebut dapat tergantikan oleh komputer dan para ground controller atau pemandu daratan.
2. Kerusakan mesin
Meskipun kualitas desain dan manufaktur terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kegagalan peralatan masih menyumbang 20% dari kecelakaan pesawat terbang. Walaupun mesin-mesin pesawat dewasa ini jauh lebih bisa diandalkan dibandingkan dengan setengah abad yang lalu, terkadang mereka masih mengalami kerusakan yang mencengangkan.
Pada Tahun1989, satu bilah kipas yang hancur menyebabkan mesin nomor satu (bagian kiri) pesawat Boeing 737-400 British Midland menuju Belfast kehilangan daya. Instrumen yang sulit dibaca membuat pilot salah mengidentifikasi mesin mana yang kehilangan daya. Para pilot yang kebingungan justru mematikan mesin nomor 2 (bagian kanan).
Tanpa satu pun mesin yang menyala, pesawat tersebut terhempas tidak jauh dari landasan 27 Bandara East Midlands, menewaskan 47 penumpang dan melukai banyak yang lain, termasuk kapten dan first officer.
Kasus yang lain adalah kegagalan mesin Qantas A380 yang membawa 459 penumpang dan awak di atas Pulau Batam, Indonesia. Berkat kemampuan para pilot, pesawat terbang tersebut berhasil mendarat dengan aman. Terkadang, teknologi baru justru membawa kegagalan baru. Contohnya pada tahun 1950, kehadiran pesawat jet bertekanan yang mampu terbang tinggi juga membawa potensi bahaya baru yaitu pelemahan besi yang timbul dari siklus tekanan yang terjadi pada lambung.
3. Cuaca
Cuaca yang buruk menyebabkan sekitar 10% kecelakaan pesawat terbang. Meskipun pesawat sudah dilengkapi dengan berbagai alat bantu elektronik seperti kompas bergiroskop, navigasi satelit dan data cuaca, pesawat terbang masih dapat jatuh dihantam badai, salju dan kabut.
Pada Desember 2005, penerbangan 1248 maskapai Southwest Airlines yang terbang dari Bandar Udara Internasional Baltimore-Washington menuju Bandar Udara Internasional Chicago Midway, mencoba mendarat di tengah badai salju. Pesawat tersebut tergelincir menuju sebaris mobil dan menewaskan seorang balita.
Salah satu insiden paling terkenal terkait cuaca buruk terjadi pada Februari 1958 ketika pesawat bermesin kembar milik British European Airways jatuh saat lepas landas dari Bandara Munich-Riem. Dari 23 orang yang tewas dalam insiden itu, banyak yang merupakan pemain klub sepak bola Manchester United.
Para penyidik berkesimpulan bahwa pesawat tersebut menjadi lamban karena lumpur salju di landasan pacu (hal tersebut dikenal oleh para pilot sebagai “kontaminasi landasan” atau “runway contamination" sehingga pesawat tersebut gagal mencapai kecepatan lepas landas yang diperlukan. Yang menarik dicatat adalah, petir bukanlah ancaman utama yang seharusnya ditakuti oleh penumpang pesawat.
4. Sabotase
Sekitar 10% kegagalan pesawat terbang disebabkan sabotase. Sebagaimana sambaran petir, risiko kecelakaan dari sabotase jauh lebih sedikit dibandingkan kekhawatiran orang-orang. Namun, sepanjang sejarah terdapat beberapa serangan mencengangkan yang disebabkan oleh pelaku sabotase. Pada September 1970, pembajakan tiga pesawat jet yang menuju Dawsons Field di Yordania menjadi titik balik dalam sejarah penerbangan yang mencetuskan evaluasi keamanan.
Dibajak oleh para pengikut Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, ketiga pesawat terbang tersebut menjadi liputan seluruh media dunia. Meskipun perbaikan telah dilakukan di sana-sini, beberapa pelaku kejahatan masih bisa menembus tirai keamanan, termasuk Richard Reid pada tahun 2001. Untunglah Reid tidak berhasil menjatuhkan pesawat di tengah penerbangan.
5. Kesalahan manusia jenis lainnya
Penyebab lain kecelakaan pesawat adalah kesalahan manusia, seperti kelalaian pengendali lalu lintas udara, dispatcher, pemuat barang, pengisi bahan bakar atau teknisi pemeliharaan. Karena terkadang diharuskan bekerja dalam shift yang panjang, para teknisi pemeliharaan pesawat yang kelelahan berpotensi membuat kesalahan yang fatal.
Pada tahun 1990, copotnya kaca depan pesawat British Airways hampir menewaskan kapten pesawat tersebut. Menurut Cabang Investigasi Kecelakaan Udara atau Air Accidents Investigation Branch, hampir semua dari 90 baut di kaca depan “lebih kecil daripada diameter yang seharusnya.” Namun teknisi yang bertanggung jawab bukannya mengakui bahwa ia salah memilih ukuran baut, ia justru menyalahkan lubang-lubang baut yang terlalu besar. Teknisi itu kurang tidur dan mengerjakan penggantian kaca depan saat jam biologisnya menyuruh dia untuk tidur suatu kondisi di mana seseorang sangat mungkin membuat keputusan yang keliru.
itulah ulasan dari mimin SFI tentang Flight Safety. Semoga Bermanfaat
Safety Is My Life
PT SAFETY FIRST INDONESIA.
Whatsapp 0822 - 4111 - 2918
Instagram @Safetyfirstindonesia